Mari kita simak sebuah hadis berikut.
عَنْ أبى الخطاب
قَتَادَةَ قَالَ قُلْتُ لِأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ هَلْ كَانَتْ الْمُصَافَحَةُ فِي
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ
Artinya: Dari Abi Khattâb Qatâdah ia berkata:
Saya bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah para Sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasa berjabat tangan?” Ia menjawab, “Ya.” (HR
Bukhari)
Anas adalah seorang sahabat yang pernah tinggal
bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selama 10 tahun. Anas banyak
mengetahui kebiasan para sahabat, termasuk kebiasaan mereka berjabat tangan
atau mushafahah. Musafahah dalam bahasa Arab artinya memegang dengan tangan
yang terbuka penuh. Adanya kebiasaan ini menunjukkan bahwa berjabat tangan
merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah. Tradisi
ini kemudian menjadi anjuran agama berdasarkan hadis-hadis Rasulullah.
Asal Usul Tradisi Jabat Tangan
Sebenarnya budaya jabat tangan bukanlah budaya
masyarakat Mekkah ataupun Madinah, tetapi merupakan adopsi dari budaya Yaman.
Argumen ini didasari sebuah Hadits dari Anas r.a. yang menyatakan bahwa
sekelompok orang negeri Yaman mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan mereka saling berjabat tangan dengan kaum muslimin. Rasulullah
bersabda, “Kini telah datang penduduk kota Yaman dan merekalah orang-orang yang
pertama kali datang dengan berjabat tangan”. Dengan demikian, kebiasaan
berjabat tangan bukan budaya asli penduduk Mekkah ataupun Madinah, tetapi sudah
ada pada masa Rasulullah dan diakui oleh beliau. Sesuatu yang diakui beliau
merupakan Sunnah atau anjuran agama.
Hikmah Berjabat Tangan
Allah sangat menghargai setiap perbuatan baik
yang dilakukan dengan ikhlas. Berjabat tangan merupakan perbuatan baik yang
akan diganjar pengampunan dari-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis berikut:
Dari al-Barra’ r.a. ia berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “[Apabila ada] dua orang Islam yang
bertemu kemudian mereka berjabat tangan, maka dosa kedua orang tersebut akan
diampuni sebelum keduanya berpisah (melepaskan tangan mereka)”. (HR Abu Daud)
Pengampunan dosa itulah yang seharusnya
diharapkan seorang muslim ketika ia mengulurkan tangannya kepada saudaranya
seagama. Rasulullah sendiri ketika bersalaman tidak pernah melepaskan tangan
sahabatnya terlebih dahulu sampai sahabat itu sendiri yang melepaskannya.
Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis, Bolehkah?
Saya tidak setuju kalau jabat tangan dilakukan
dengan lawan jenis yang bukan muhrim, karena beberapa faktor:
- Tidak pernah ada Hadis yang meriwayatkan adanya kebiasaan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan pada masa Rasulullah. Hadis di atas hanya menjelaskan jabat tangan secara umum;
- Rasulullah sendiri tidak pernah melakukan hal tersebut;
- Sebagai tindakan preventif terhadap efek negatif yang mungkin ditimbulkan dari jabat tangan, seperti timbulnya nafsu birahi karena bersentuhan kulit secara langsung dengan lawan jenis, mengetahui kekurangan ataupun kelebihan kondisi kulit tangan yang dimiliki lawan jenis, serta hal-hal lain yang sedikit demi sedikit dapat menjadi racun bagi masa depan seorang muslim/muslimah; dan
- Berjabat tangan bukan hanya simbol dari pengampunan dosa, tetapi lebih dari itu merupakan sebuah perkenalan dan persahabatan. Ketika jabat tangan dilakukan dengan sesama jenis (laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan), maknanya mereka telah menandatangani kontrak persahabatan sebagai teman sehidup semati dalam hal kesamaan agama dan akidah yang akan dipertahankan sampai mati. Kontrak semacam ini tidak wajar bila dilakukan dengan lawan jenis yang bukan muhrim atau suami istri.
Bagaimana Tata Cara Berjabat Tangan yang Diakui Nabi?
Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa ia
berkata bahwa Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah,
apabila seorang di antara kami bertemu dengan saudara ataupun kawannya apakah
ia harus membungkukkan diri?” Beliau menjawab, “Tidak.” Orang tersebut bertanya
lagi, “Apakah ia harus mendekap dan menciumnya?” Beliau menjawab, “Tidak”. Ia
bertanya lagi, “Apakah ia harus memegang tangannya dan menjabatnya?” Nabi
menjawab, “Ya.” (HR Turmuzi)
Menurut Hadis di atas, ada tiga hal yang biasa
dilakukan masyarakat Arab ketika bertemu dengan sesamanya, yaitu:
- membungkukkan badan;
- mendekap dan mencium dengan mengecupkan mulut; dan
- berjabat tangan.
Dari ketiga hal di atas, hanya satu yang diakui
Rasulullah yaitu berjabat tangan. Namun fenomena yang terjadi sekarang adalah
sebaliknya. Masyarakat kita masih melakukan ketiga hal di atas. Tidak jarang
kita membungkukkan badan pertanda hormat kepada sesama, ataupun berpelukan
tanpa berjabat tangan. Yang paling tidak wajar adalah melakukan ketiga hal
tersebut sekaligus.
Kita harus akui bahwa sesuatu yang selama ini
kita anggap sepele ternyata mendapat perhatian serius dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Saatnya bagi kita untuk merenungkan kembali
apakah yang kita lakukan selama ini sudah sesuai dengan anjuran Rasulullah atau
tidak.
Bolehkah Bersalaman dengan Mencium Tangan?
Jawabannya terdapat dalam Hadis berikut:
Dari Shafwan bin ‘Assal r,a., ia menceritakan
bahwa ada seorang Yahudi berkata kepada kawannya, “Marilah kita pergi menemui
Muhammad”. Maka keduanya pun datang menemui Nabi dan menanyakan tentang
sembilan ayat. Setelah Nabi menjawab semua pertanyaan tersebut, mereka lalu
mencium tangan dan kaki Nabi seraya berkata, “Kami bersaksi bahwa sesungguhnya
engkau adalah seorang Nabi.” (HR Turmudzi)
Tindakan kedua Yahudi tersebut didasari oleh
keyakinan mereka (setelah mendengarkan penjelasan dari Nabi), bahwa beliau
adalah orang yang benar dan pantas untuk dihormati. Jawaban yang beliau berikan
mampu memuaskan dan membuka mata hati mereka yang selama ini tertutup.
Dari Hadis di atas dapat kita kembangkan
beberapa hal, di antaranya:
- Orang yang belum masuk Islam belum tentu musuh kita. Bisa saja mereka tidak memeluk Islam karena mereka belum mendapatkan informasi yang benar tentang agama kita.
- Tunjukkan akhlak mulia kepada mereka sehingga mereka bisa melihat lebih jauh sisi baik Islam dari penganut Islam itu sendiri. Dengan demikian, mereka bisa tertarik untuk mempelajari Islam.
- Yang berhak dicium tangannya hanyalah mereka yang punya kelebihan dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama.
- Diperbolehkan mencium tangan orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau hubungan keluarga, seperti anak mencium tangan kedua orangtua atau kakek dan neneknya, menantu mencium tangan mertuanya, dan sebagainya.
- Tidak diperbolehkan mencium tangan orang asing yang tidak dikenal dan orang yang senang berbuat maksiat kepada Allah. Kesalahan yang sering dilakukan oleh para orangtua adalah memaksakan anaknya mencium tangan orang-orang yang tidak mereka kenal, hanya supaya dianggap sebagai anak yang sopan.
·
Bersalaman Setelah Shalat, Bolehkah?
·
Bersalaman
setelah shalat sering dilakukan terutama di Indonesia. Kadang-kadang,
mereka bersalaman dengan antrian yang sangat panjang sehingga menyulitkan dan
mengganggu keleluasaan jamaah lain dalam bergerak ataupun berzikir. Apakah itu
termasuk bagian dari agama? Saya belum pernah mendapatkan satu dalil pun, baik
ayat Al-Qur’an maupun Hadis yang membahas hal tersebut. Namun berhubung ada
hadis yang menganjurkan berjabat tangan, maka bersalaman setelah shalat
diperbolehkan sebatas tidak mengganggu dan menyulitkan jamaah yang lain.
·
Satu
hal yang perlu kita ingat adalah bahwa berjabat tangan itu bukanlah
kewajiban agama yang harus dilaksanakan oleh semua orang. Amalan seperti ini
bersifat anjuran. Karena itu, kita tidak boleh berprasangka buruk kepada
orang-orang yang tidak berjabat tangan dengan kita. (63/e)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar